bilik BINTANG, yang sedang dan akan terus kejar kejora, terangi semesta
bilik BINTANG, tempat bermimpi, berkeluh, bercermin, bercerita
bilik BINTANG, untuk DUNIA...


Thursday, January 26, 2006

konon, karena supir bus di solo cemburu....

nalingkane ing tirtonadi
ngenteni tekane bis wayah wengi
tanganmu tak kanti
kowe ngucap janji
lungo mesti bali

rasane ngitung nganti lali
wes pirang taun anggon ku nganteni
ngenteni slirahmu
neng kene tak tunggu
nganti sa'elingmu

mongso rendeng wes ganti ketiko
opo koe rak keroso
yen kowe isih seneng lan trisno
kudune kowe ngeroso

wes suwe, wes suwe, wes suwe, kangen sing tak rasa'ne
rasane, rasane, rasane koyok ngene
neng kene, neng kene, neng kene, aku ngenteni kowe
aku kangen, kangenku mung kanggo kowe

kadang penantian itu lahir, karena kita memang suka menanti... mungkin, manusia selain makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang gemar bermain, juga makhluk yang gemar menunggu.....

lirik lagu didapat setelah berjuang di bawah bimbingan mentor bahasa jawaku, yang ada di jerman.

Thursday, January 12, 2006

ke akar, setapak demi setapak

Saya tidak pernah menyangka, kalau di sinilah akhirnya saya untuk pertama kalinya melarutkan diri dalam sebuah percakapan menyenangkan tentang wayang, untuk pertama kalinya menonton sebuah lakon wayang secara langsung, dan untuk pertama kalinya membusungkan dada banggakan wayang sekaligus tertunduk malu karena ketidakpedulian yang amat panjang ini.

Alkisah, akhir tahun lalu, teman saya yang sekaligus sutradara pertunjukan musical Maret nanti, di mana saya juga terlibat sebagai staf dan pemain, bilang pada saya kalau dia punya ide untuk memasukkan wayang dalam sebuah adegan. Saya yang belakangan ini memang entah kenapa punya gairah back to the roots yang sangat besar, langsung semangat menanggapi ide itu. Setelah putus asa mencari orang yang kira-kira punya atau tahu wayang di sini secara manual, akhirnya saya putuskan untuk meng-google. Sampailah saya pada website Nihon Wayang Kyoukai (kira-kira Organisasi Wayang Jepang).

Perjumpaan dengan website inilah yang jadi momentum penting. Sebuah website luar biasa yang didirikan oleh seoarang Jepang yang cinta mati sama wayang, lengkap dengan perkenalan wayang sampai ringkasan lakon-lakon wayang yang ada. Saya tidak pernah berpikir sekalipun, kalau saya yang waktu kecil sangat kesal kalau mbah kakung memutarkan kaset wayang, akhirnya menghabiskan malam dengan tekun membaca lakon wayang, dalam bahasa Jepang!

Saya putuskan untuk bertemu dengan pendiri website itu. Ternyata beliau (organisasi) ini juga mengadakan pertunjukan wayang sekali tiap bulannya. Karena jadwal bulan ini bentrok dengan kegiatan lain, beliau menawarkan saya untuk datang melihat proses latihannya. Oh ya, beliau itu adalah Matsumoto Ryo-san, yang ternyata orang hebat dalam kancah perwayangan dunia. Sudah 40 tahun bergelut dengan wayang, pergi ke Indonesia sedikitnya 2 kali setahun untuk melihat wayang, menelurkan beberapa buku tentang wayang dan filsafatnya, kenal dekat dengan dalang-dalang juara seperti Ki Manteb dan Alm. Ki Narto Sabdo, dan klimaksnya, dalam sebuah pamflet konferensi pewayangan, beliau diperkenalkan sebagai Ki Matsumoto Ryo!!! Ketika saya mengunjungi rumah beliau, ada seorang mahasiswa Jepang yang sedang latihan mendalang. Jadilah malam itu saya menonton dia mendalang, yang adalah wayang pertama yang saya tonton seumur hidup saya. Oh ya, cerita dituturkan dalam bahasa Jepang.

Lakon yang dimainkan adalah Murwo Kolo, lakon yang amat sangat terkenal dalam wayang. Biasa dimainkan pada prosesi ruwatan, bercerita tentang asal muasal Betoro Kolo. Konon, untuk memainkan lakon ini dibutuhkan biaya yang sangat besar, mengharuskan orang yang memintanya untuk menyediakan berbagai macam sajen, karena lakon ini bertujuan untuk menolak bala. Sedikit ringkasan dari Murwo Kolo, Betoro Kolo itu adalah raksasa yang sebenernya keturunan dari Betoro Guru (Syiwa). Pada sebuah senja, saat Betoro Guru dan Dewi Uma menunggangi binatang sakti, Lembu Andhini, Betoro Guru tak mampu menahan gairah seksual yang sayangnya ditolak Dewi Uma, sehingga 'anak'nya akhirnya jatuh ke laut. 'Anak' inilah yang akhirnya menjadi Betoro Kolo, titisan dewa yang berwujud raksasa. Betoro Kolo akhirnya berhasil menemui ayahnya dan mendapat pengakuan, sekaligus mendapat keringanan untuk dibolehkan memakan anak manusia. Tetapi, akhirnya karena tipu daya dari Betoro Guru, Betoro Kolo tak pernah berhasil memakan anak manusia dan dikisahkan setiap senja Betoro Kolo yang amat kelaparan akan turun mencari mangsa.

Dari ringkasan cerita di atas, bisa ditebak kalau lakon Murwo Kolo ini adalah tolak bala untuk setiap anak. Setelah diceritakan, saya juga seperti punya memori buram kalau waktu kecil saya juga pernah ditakut-takuti dengan cerita Betoro Kolo ini.

Malam itu dilanjutkan dengan diskusi tentang wayang, tentang beratnya lakon Murwo Kolo, tentang filsafat wayang, dan tentu tentang cerita tokoh-tokoh wayang lainnya. Karena saya sempat belajar singkat tentang wayang dan punya bekal memori usang cerita wayang dari ayah saya, saya tanpa kesulitan bisa memahami semua. Saya juga mendapat penerangan terhadap salah satu tanda tanya terbesar yang saya miliki tentang wayang, yaitu tentang seberapa pengaruh Islam dalam wayang. Seperti yang kita semua tahu, Sunan Kalijogo disebutkan menyebar ajaran Islam salah satunya menggunakan wayang. Sampai kemaren, saya berpikir ada lakon tentang Islam dalam wayang, di mana disebutkan nama Allah atau Muhammad dalamnya. Tapi, Ki Matsumoto mengagetkan saya dengan bilang kalau asma Allah itu tidak pernah disebutkan dalam lakon wayang. Beliau melanjutkan bahwa salah satu bentuk pengaruh Islam dalam wayang adalah dengan memanusiawikan tokoh-tokoh dewa utama, seperti kisah Betoro Guru yang nggak tahan dalam Murwo Kolo. Kalau mengikuti ajaran hindu dilestarikan selalu dalam wayang, hal seperti itu sangat tidak mungkin. Mungkin inilah bentuk pengaruh Islam yang saya pertanyakan dari dulu.

By the way, karena malam sebelumnya saya cuma tidur tiga jam, itu pun di lab, obrolan yang bisa berlangsung semalam suntuk, terpaksa saya akhiri setelah 2 jam. Saya pulang malam itu dengan sambil tersenyum mengingat Betoro Guru, membayangkan kecantikan Benowati, dan kehebatan Lembu Andhini. Saya pulang malam itu, menuju akar saya, sedikit demi sedikit...

menantang candik olo-ku, menyingkap rahasianya...